i love Rupert Grint! :D

Wednesday, March 7, 2018

ASPEK PSIKOLOGIS PENGGUNA INTERNET YANG BERKAITAN DENGAN MEDIA SOSIAL


Aspek Psikologis Pengguna Internet yang Berkaitan dengan Media Sosial (dalam Hal Ini Instagram)

A. Definisi Internet dan Media Sosial
a. Internet
Internet (yang dikenal dengan nama information superhighway) merupakan singkatan dari inter-networking. Sesuai dengan kepanjangannya, internet terdiri dari sekumpulan jaringan komputer milik perusahaan, institusi, lembaga pemerintah, ataupun penyedia jasa jaringan (ISP/Internet Service Provider) yang saling terhubung dimana masing-masing jaringan komputer yang dikelola secara independen. Pengembangan internet sendiri sebenarnya sudah mulai dirintis sejak tahun 1960-an sebagai proyek dari departemen pertahanan Amerika Serikat. Internet menjadi salah satu media yang dijadikan sumber informasi paling populer antar mahasiswa perguruan tinggi di dunia. Suatu sumber informasi menurut Murtonen adalah pembawa informasi yang terpercaya dan dapat memberikan kepuasan dalam memenuhi kebutuhan informasi (Bystrom, 1999, dalam Novianto, 2013). Penggunaan internet telah menjadi sebuah gaya hidup (life style) bagi sebagaian besar mahasiswa perguruan tinggi di seluruh dunia. Bagi mereka, internet adalah sebuah alat fungsional yang telah mengubah cara seseorang berinteraksi dengan orang lain, maupun dalam menemukan informasi. Banyak diantara mahasiswa yang menggunakan internet untuk menyelesaikan berbagai kepentingan akademis, baik itu dilakukan melalui pertukaran e-mail dengan fakultas, teman sebaya, atapun kepentingan lainnya. Disamping itu, sebagian mahasiswa juga mengakses katalog online, database bibliografi, dan sumber informasi lainnya dalam bentuk grafik, teks, dan gambar melalui World Wide Web (WWW) (Asan & Koca, 2006, dalam Bashir, 2008).

b. Media Sosial
Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “ media” diartikan sebagai alat komunikasi (Laughey, 2007; McQuail, 2003). Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam makna bahwa keduanya merupakan produk dari proses sosial (Durkheim dalam Fuchs, 2014).
Media sosial adalah alat perantara yang membantu individu untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak di belahan dunia. Tujuan interaksi dalam media sosial sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan nyata, yaitu membuat lingkaran pertemanan untuk membangun jaringan sosial terhadap orang lain atau komunitas tertentu, namun secara tidak langsung atau non-face to face (Sikape, 2014). Sedangkan Boyd dan Ellison (2008) mendefinisikan media sosial sebagai bentuk pelayanan berbasis web yang memungkinkan individu membuat profil pribadi, berbagi informasi, serta melihat dan melintasi profil orang-orang yang terdaftar dalam koneksi mereka.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa media sosial merupakan suatu alat komunikasi yang dapat menghubungkan berbagai pihak di belahan dunia manapun dengan menggunakan perangkat komputer atau smartphone, sehingga terjalin sebuah percakapan secara tidak langsung atau non-face to face. Contoh media sosial ini seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Line, BBM, Instagram, dan masih banyak lagi.


Bashir, S., Mahmood, K., Shafique, F. (2008). Internet Use Among University Students: a Survey in University of The Punjab, Lahore, Tersedia pada www.pu.edu.pk/dlis/pjlis/previous %201issue/pjlis-9-mahmood.pdf.

Boyd, D. M. & Ellison, N. B. (2008). Social network sites: definition, history, and scholarship. Journal of Computer-Mediated Communication. 13, 210-230.

Fuchs, C. (2014). Social Media a Critical Introduction. Los Angeles: SAGE Publication, Ltd.

Laughey, D. (2007). Themes in Media Theory. New York: Open University Press.

McQuail, D. (2003). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Novianto, Iik. (2013). Perilaku pengguna internet di kalangan mahasiswa. Jurnal Program Studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan Vol. 2 No. 1. Surabaya: Universitas Airlangga.

Sikape, H. J. (2014). Persepsi komunikasi pengguna media sosial pada blackberry messanger, twitter, dan facebook oleh siswa SMAN 1 Tahuna. Journal “Acta Diurna” Vol. 3 No. 3.



B. Aspek Psikologis Pengguna Internet yang Berkaitan dengan Media Sosial (dalam Hal Ini Instagram)
Pada pembahasan sebelumnya, sudah dipaparkan terkait dengan definisi internet dan media sosial beserta beberapa contohnya. Nah, sekarang saya akan membahas terkait dengan aspek psikologis pengguna internet, yang dalam hal ini, saya akan membahas lebih dalam berkaitan dengan pembentukan identitas pengguna media sosial.
Fenomena media sosial yang cukup menarik untuk dibahas adalah maraknya akun-akun pengguna yang dengan sengaja memasang foto profil bukan dirinya, tanpa foto profil, dan tanpa identitas jelas (Nasrullah, 2015). Selain akun pengguna tanpa identitas jelas, ironi perilaku pengguna media sosial juga tercermin dari upaya-upaya mereka untuk merekonstruksi identitas melalui tulisan status atau distribusi tautan laman tertentu yang sesungguhnya hanya untuk ‘menjelaskan’ kepada khalayak tentang siapa dan bagaimana atau malah justru sebaliknya, tidak mewakili identitas pengguna sama sekali. Media sosial hadir layaknya sekumpulan negara atau masyarakat, di mana di dalamnya juga terdapat ragam etika dan aturan yang mengikat para penggunanya. Aturan ini ada karena perangkat teknologi itu merupakan sebuah mesin yang terhubung secara daring atau bisa muncul karena interaksi diantara sesama pengguna. Realitas ini senada dengan gagasan yang diungkapkan oleh Baudrillard (1994), dimana ia menggunakan istilah simulacra yang diartikan sebagai “bukan cerminan dari realitas”. Kesadaran akan sesuatu yang nyata di benak para pengguna media sosial semakin terdegradasi dan tergantikan realitas semu. Menurut Nasrullah (2015), kondisi ini disebabkan oleh imaji yang ditampilkan media secara terus-menerus hingga pada akhirnya khalayak seolah berada diantara realitas dan ilusi karena tanda yang ada di media seakan-akan telah terputus dari realitas. Dengan kata lain, media sosial telah menjadi realitas itu sendiri, bahkan apa yang di dalamnya justru lebih real dan aktual.
Berkaitan dengan fenomena di atas, tentunya kita pernah melihat atau mendapati hal tersebut terjadi di sekitar kita. Umumnya hal tersebut lebih sering terjadi pada kalangan anak muda, khususnya di jejaring sosial Instagram, yang saat ini begitu digandrungi oleh banyak orang. Seperti yang sering saya temui di Instagram, banyak bertebaran “fake account” yang dengan sengaja tidak menggunakan foto profil dirinya, atau bahkan tidak menggunakan foto profil sama sekali, dan juga dengan sengaja “menyamarkan” identitas aslinya. Tak jarang fake account ini juga menebar ujaran kebencian melalui post atau comment-comment yang mereka tulis di kolom komentar pengguna Instagram yang lain. Dampaknya pun cukup begitu terasa dan seringkali mengarah kepada cyber bullying. Dari sudut pandang saya yang juga sebagai pengguna Instagram, menurut saya hal tersebut bisa terjadi karena orang tersebut merasa lebih nyaman dengan “menyembunyikan identitasnya” sehingga ia dapat mengekspresikan sesuatu hal dengan lebih bebas tanpa diketahui identitas yang sebenarnya. Dari fenomena yang sering saya lihat sehari-hari, umumnya mereka “berlindung di balik tameng fake account” tersebut supaya mereka dapat mengekespresikan, menyuarakan, atau berkomentar tentang suatu hal tanpa perlu takut akan diketahui identitas yang sebenarnya. Mereka cenderung lebih nyaman jika menyamarkan identitas mereka dibandingkan dengan menggunakan identitas asli.
Namun, tak sedikit juga pengguna Instagram yang memilih untuk memiliki 2 akun. Akun yang utama digunakan untuk interaksi sehari-hari dengan banyak orang, sedangkan akun yang kedua atau second account biasanya diperuntukkan khusus hanya orang-orang terdekat saja (atau akun yang lebih privat). Biasanya mereka tidak menggunakan foto yang asli, akun di-private, dan juga followers/following yang kurang dari 20 orang. Mereka melakukan hal tersebut supaya identitas mereka tersamarkan, dan tidak semua orang dapat nge-follow.
Kaitannya dengan pembentukan identitas diri, hal tersebut tak dipungkiri memang terjadi juga terhadap diri saya sendiri. Saya memiliki 2 akun yang dimana akun utama itu saya gunakan untuk sehari-hari, dan akun yang kedua saya gunakan untuk diri saya sendiri. Di akun yang kedua ini, saya menyamarkan identitas saya dengan tidak menggunakan foto asli saya dan juga tidak menggunakan nama saya sebagi username Instagramnya. Mengapa demikian? Hmm… saya beralasan karena ada kalanya saya memang butuh “ruang” untuk diri saya sendiri yang di sana saya bisa berkeluh kesah melalui instastory tanpa perlu ada yang mengetahuinya selain diri saya sendiri. Selain itu, di akun tersebut juga saya memang sengaja untuk tidak nge-follow keluarga, teman, sahabat, atau siapapun itu, sehingga memang benar-benar “private” untuk diri saya sendiri. Dan juga di akun tersebut saya hanya nge-follow akun-akun hiburan, online shop, media/berita, dsb. Yang berada di luar ruang lingkup pergaulan saya.


Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Nasrullah, R. (2015). Media Sosial (Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi). Jakarta: Simbiosa Rekatama Media.